Wednesday, November 30, 2011

Ampunan dan Doa (42:25-26)


Ampunan dan Doa (42:25-26)

Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan, (42:25)

dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras. (42:26)

Inilah sebagian ayat yang membicarakan tentang ampunan dan doa. Topik tentang ampunan dan doa adalah topik sangat penting, karena menyangkut nasib manusia di akhirat dan juga nasib di dunia. Bagaimana tidak, harapan utama di akhirat adalah agar dosa dan kesalahan selama hidup di dunia diampuni oleh Allah. Betapapun besarnya dosa dan maksiat seseorang, ampunan selalu menjadi harapan besarnya. Dan Allah telah menjanjikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaubat. 
Sedangkan Doa adalah sebuah harapan yang disandarkan kepada Allah dengan sebuah keyakinan bahwa Allah akan memudahkan orang yang berdoa mencapai harapannya. 
Isi doa sangat beragam. Bisa berhubungan dengan kehidupan akhirat, bisa juga berhubungan dengan kehidupan dunia. Bahkan bisa jadi doa yang berhubungan dengan kehidupan dunia lebih dominan dibandingkan dengan akhirat. Karena doa tentang sesuatu yang berhubungan dengan akhirat sangat dipengaruhi oleh keimanan seseorang, terutama keimanan tentang kehidupan akhirat yang abadi, tentang siksa neraka dan surga, dan tentang kematian. Pendek kata seseorang yang sedang berada dalam gelimang dunia sehingga membuatnya lupa kepada Allah dan kehidupan akhiratnya, lebih sering lupa berdoa untuk kehidupan akhiratnya.
Sebaliknya doa yang berhubungan dengan kehidupan dunia lebih sering dilantunkan, baik dilantunkan dengan bibirnya setelah shalat atau waktu-waktu yang lain, ataupun dilantunkan dalam hati pada waktu-waktu utama untuk berdoa dan bahkan di setiap waktu. Belum lagi pada umumnya manusia lebih mudah mengenali problem yang berhubungan dengan dunia dibandingkan dengan problem yang berhubungan dengan akhirat. Maka tidak aneh jika doa yang berhubungan dengan dunia lebih dominan dilantunkan seseorang dibandingkan doa yang berhubungan dengan akhirat.
Itulan Ampunan dan Doa yang sesunggunya merupakan bagian
tak terpisahkan dari kehidupan manusia. 
Dua ayat tersebut di atas berbicara tentang dua hal ini sehingga karenanya menarik untuk diulas dan ditadabburi. Pemahaman yang benar tentang kedua ayat diharapkan bisa menjadi motivasi bagi seseorang untuk menggapai kehidupannya yang dipenuhi dengan ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang sebenarnya serta beroleh keselamatan di akhirat kelak. Apapun peristiwa yang menimpanya bisa membuatnya tetap dalam ketenangan dan kebahagiaan, sebab sesungguhnya ketenangan dan kebahagiaan itu adalah bagaimana sikap kita terhadap peristiwa yang terjadi, bukan karena seberapa besar peristiwa itu.
Ayat 25 Surat 42 (As-Syura) langsung menyatakan bahwa Allah menerima taubat dan mengampuni kesalahan-kesalahan. Sebuah pernyataan yang sangat motivatif agar manusia optimis bahwa dia diterima Allah dan tidak dibiarkan atau bahkan ditolak oleh Allah. Secara psikis tentu manusia akan memiliki positif thingking kepada Allah. Padahal sebagaimana sebuah hadits qudsi menyatakan bahwa "Ana 'inda dzonni abdi bii", Aku (Allah) tergantung dari persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Ibarat seseorang yang datang dari perjalanan melelahkan kemudai tiba-tiba melihat sebuah istana megah, dan di sana ada sebuah tulisan besar yang menyatakan bahwa "siapapun Anda yang melihat istana ini, silakan mampir sejenak untuk menikmati keindahannya tanpa dipungut biaya". Maka orang tersebut tak ada kehendak lain kecuali segera sampai di istana itu. Betapa sangat indah dan sejuk Allah mengawali ayat ini untuk menumbuhkan harapan besar akan diampuninya dosa dan kesalahan sebesar apapun dosa dan kesalahan itu.
Retorika ayat ini juga sedemikian mengesankan, karena memberikan jalan keluar dari keputusasaan para ahlul ma'ashy (ahli ma'siat) yaitu apabila mereka menginginkan ampunan yang begitu mudah, maka caranya tidak rumit, hanya dengan bertaubat kepada Allah. Maka Allah akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Taubat perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukannya berpura-pura hanya untuk menipu Allah dan manusia. Manusia boleh tertipu oleh perbuatan seseorang termasuk yang hanya berpura-pura taubat, tapi Allah tidak. Hal ini dinyatkan dalam akhir ayat 25 ini, bahwa Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sebaik apapun perbuatan seseorang atau seburuk apapun perbuatan seseorang sudah pasti Allah mengetahuinya, sebagaimana sebaik apapun atau seburuk apapun niat seseorang untuk melakukan berbagai perbuatan, maka Allah mengetahuinya dengan jelas dan detil. Allah telah menyatakan bahwa Dia menerima taubat dan mengampuni kesalahan manusia. Pernyataan ini sungguh tidak terlepas dari pengetahuan Allah akan kehidupan manusia. Bahwa bentuk-bentuk perbuatan dosa dan kekejaman manusia telah diketahui Allah seluruhnya, sejak dari manusia pertama sampai manusia terakhir. Tidak satupun jenis kemaksiatan dan perbuatan hina manusia yang pernah dan akan hidup nanti, yang tidak diketahui secara pasti oleh Allah. Kalaupun pada zaman ini ada kelakuan bejat manusia yang sama sekali tidak terbayangkan oleh umat terdahulu misalnya, maka itupun sudah diketahui oleh Allah. Dan terhadap perbuatan-perbuatan seperti itu, semuanya, Allah telah menjanjikan taubat dan ampunan. Maha Suci Allah yang Maha Pengampun. Maka hendaklah taubat dan ampunan ini menjadi inspirasi besar bagi manusia untuk tidak pernah putus asa bertaubat kepada Allah dan mohon ampun atas semua dosa.

"dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. Dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras. (42:26)"

Ayat ini menegaskan tentang doa. Disebutkan bahwa Allah memperkenankan doa orang beriman dan beramal shalih, bahkan tidak hanya itu, Allah menambahkan bagi mereka karunia-Nya, termasuk pahala. Ayat ini menjelaskan bahwa dikabulkannya doa adalah kekuasaan dan kehendak Allah. Dan Allah menjanjikan bahwa doa orang mukmin dan yang beramal saleh akan dikabulkan. Ayat ini sekali lagi berbicara tentang 'kelayakan' hamba untuk menerima karunia Allah. Sesungguhnya 'kelayakan' ini mutlak milik Allah tanpa syarat, namun Allah yang Maha Bijaksana memberikan tuntunan kepada manusia tentang bagaimana mencapai 'kelayakan' itu menurut ukuran manusia. Maka tuntunan itu adalah dengan menanamkan keimanan dalam diri dan beramal saleh dengan landasan iman dan tuntunan wahyu-Nya. 
Inilah ibroh yang seharusnya diambil dalam hubungan hamba dan Robbnya. Ibroh tentang bagaimana ber-tawazun (menyeimbangkan) dan memahami keberadaan Allah yang Maha Kuasa dan manusia yang secara fitrah memahami seluruh kejadian yang menimpanya dengan rasionalitas akalnya. Bahwa di satu sisi Kekuasaan Allah itu mutlak tanpa syarat meliputi kehidupan dunia dan akhirat seluruh makhluk, termasuk manusia. Di sisi lain manusia yang dikarunia Akal oleh Allah juga diperintahkan untuk menggunakan akalnya mentadabburi Nash Qouliyah dan alam kauny yang ada di sekitarnya. Nash Qouly adalah tuntunan langsung dari Allah melalui Rasul-Nya kepada hamba-Nya, manusia. Ayat Kauny juga sesunggunya tuntunan Allah kepada manusia, namun manusia harus memanfaatkan akalnya agar bisa mengambil pelajaran dan fenomena alam.
Selain dikabulkannya doa, ayat ini juga memberitahukan tentang karunia tambahan bagi orang mukmin dan beramal shalih dari Allah SWT. Saat-saat seorang hamba merasakan doanya sedang dikabulkan Allah adalah saat yang sangat membahagiakan. Namun Allah menambahkan kepada mukmin dan beramal shalih karunia lain yang melebihi apa yang dimintanya.


tadabbur surat al anfal ayat 63




tentang ukhwah (tadabbur surat al anfal ayat 63)


Pernah kudefinisikan ukhwah hadir karena seringnya berinteraksi, sehingga semakin mengenal dan memahami
Pernah kudefinisikan ukhwah hadir karena lapang dan dalamnya hati dalam memahami
Pernah kudefinisikan ukhwah hadir ketika seorang memahami dan membantu saudaranya dengan hati yang lapang dan ikhlas
Ternyata itu semua bukanlah ukhwah itu sendiri, lalu apa itu ukhwah?
Ikhwah fillah, itulah sepenggal pertanyaan yang pernah bergelayut cukup lama di benak saudaramu ini. Ya, sebenarnya ukhwah itu apa? Apakah sekedar seperti yang kusebutkan diatas, ternyata tidak. Menjawab pertanyaan tersebut, segera kubuka buku pedoman hidup seluruh manusia The Holy Koran. Ternyata jawabannya ada disana!!! Ketika kutelusuri ayat demi ayat hingga sampailah aku pada surat Al-anfal ayat 63
dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)]. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana
Coba perhatikan redaksi yang digunakan dan maknanya. Ternyata ukhwah hadir karena pemberian Allah dan merupakan salah satu nikmat Allah kepada hambaNya yang beriman. Karena ukhwah merupakan nikmat yang dikarenakan keimanan kepada Allah maka tak heran bahwa nikmatnya berukhwah pun dirasakan ketika keimanan kita sedang dalam kondisi baik.
Ikhwah fillah, coba kita renungi kembali, ketika ukhwah semakin kering, ketika ukhwah hanya sekedar menjadi pemanis bibir tanpa tindakan, ukhwah hanya ada dalam dunia harapan dan impian, ketika kita semakin tidak nyaman dengan saudara-saudara kita, hal pertama yang harus kita lakukakan adalah mengecek kembali kondisi keimanan kita. Karena siapa tahu keimana kita yang semakin menipis yang membuat Allah mencabut nikmat ukhwah dari hati-hati kita.
Ketika keimanan menipis maka tidak ada lagi hudznuzhan, yang timbul hanyalah prasangka-prasangka yang mematikan hati. Tidak ada lagi tabayun yang ada hanyalah prasangka-prasangka yang sudah pasti ‘ah!! Akh ini mah pasti begini, ukh itu mah begitu’. Mungkin itu yang sering terjadi pada kita semua. Sehingga yang terjadi adalah kecewa dan akhirnya pergi meninggalkan dakwah ini. Apakah itu yang kita inginkan?? Menjadi penyebab saudara kita meninggalkan dakwah ini !?
Karena itu, ketika kita merasa ukhwah diantara kita semakin mengering bahkan kerontang, yang harus pertama kita evaluasi adalah kondisi keimanan kita dan saudara-saudara kita, kemuadian saling ingat mengingatkanlah dalam kebenaran dan ketaqwaan. Moga Allah selalu menghadirkan ukhwah yang tulus ke dalam hati-hati kita.

Saturday, November 26, 2011

ADANYA SEBAGIAN ORANG MUSLIM YANG MASUK SURGA TANPA HISAB


ADANYA SEBAGIAN ORANG MUSLIM YANG MASUK SURGA TANPA HISAB


126. Sahl bin Saad r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda : Pasti akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu atau tujuh ratus ribu  (periwayat ragu, 70.000 atau 700.000) bersama-sama yang satu memegang yang lain, tidak masuk yang pertama sehingga masuk juga yang akhir, wajah mereka bagaikan bulan purnama.  (Bukhari, Muslim).

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ سَبْعُ مِائَةِ أَلْفٍ شَكَّ فِي أَحَدِهِمَا مُتَمَاسِكِينَ آخِذٌ 

بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُهُمْ وَآخِرُهُمْ الْجَنَّةَ وَوُجُوهُهُمْ عَلَى ضَوْءِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِقَالَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ


129. Abu Hurairah r.a. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:  Akan ada rombongan dari umatku tujuh puluh ribu masuk surga tanpa hisab, bercahaya muka mereka bagaikan bulan purnama.
Abu Hurairah r.a. berkata: Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan Al-Asadi sambil menjinjing selimutnya, lalu berkata: Ya Rasulullah. doakan semoga Allah menjadikan aku dari golongan mereka. Maka Nabi saw. berdoa: Ya Allah, jadikanlah dia dari golongan mereka.  Kemudian seorang sahabat Anshar berdiri dan berkata: Ya Rasulullah doakan semoga Allah menjadikan aku dari golongan mereka.  Jawab Nabi saw.: Engkau telah didahului oleh Ukasyah r.a.  (Bukhari, Muslim).
130. Sahl bin Saad r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda:  Pasti akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu atau tujuh ratus ribu (periwayat ragu, antara 70 ribu atau 700 ribu), bersama-sama yang satu memegang yang lain, tidak masuk yang pertama sehingga masuk juga yang akhir, wajah mereka bagaikan bulan purnama. (Bukhari, Muslim).
131.  Ibn Abbas r.a. berkata:      Pada suatu hari Nabi s.a.w. keluar pada kami dan bersabda:  “Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat semuanya,  ada seorang Nabi yang bersama satu orang, ada yang bersama dua orang, dan ada yang bersama rombongan tujuh orang, ada juga seorang Nabi yang sendirian tidak ada pengikutnya, lalu aku melihat rombongan besar yang telah menutup udara, maka aku mengharap semoga mereka umatku, tiba-tiba  diberitahu bahwa mereka Musa dan kaumnya, kemudian dikatakan kepadaku : ” Lihatlah“, maka aku  melihat rombongan yang lebih banyak bahkan telah menutupi ufuk, lalu disuruh melihat ke kanan dan ke kiri, maka aku melihat rombongan yang amat banyak telah memenuhi udara, lalu diterangkan bahwa mereka umatku, dan disamping mereka ada lagi tujuh puluh ribu yang akan masuk surga tanpa hisab.”
Lalu ditinggalkan oleh Nabi dan tidak diterangkan kepada kami sehingga orang-orang berbeda paham. Maka para sahabat berpendapat: Kami lahir dalam syirik, tetapi kami telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi kemungkinan anak-anak kami. Dan tanggapan itu sampai kepada Nabi saw.
Maka Nabi saw. bersabda : Mereka yang tidak mencari nasib dengan burung, tidak berjampi, tidak ber kei (kei = membakar besi lalu ditusukkan ke tempat yang sakit), dan tetap bertawakal kepada Tuhan.  Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan dan bertanya: Apakah aku termasuk mereka ya Rasulullah?  Jawab Nabi saw.: Ya.  Lalu berdiri orang yang  lain dan bertanya: apakah aku dari golongan mereka?  Jawab Nabi saw.:  Engkau telah didahului oleh Ukasyah.  (Bukhari, Muslim).
132.  Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Kami bersama Nabi saw. di dalam gubah (kemah), tiba-tiba Nabi saw. bertanya : Apakah kalian rela bila kalian merupakan seperempat ahli surga?  Jawab kami, Ya.  Lalu Nabi saw. bertanya lagi : Apakah kalian rela bila kalian menjadi sepertiga penduduk surga?  Jawab kami, Ya.  Lalu Nabi saw. bertanya lagi : Apakah puas bila kalian menjadi separuh penduduk surga?  Jawab kami, Ya.  Lalu Nabi saw. bersabda:  Demi Allah yang jiwa Muhammad di tanganNya, sungguh aku berharap semoga kamu merupakan sepenuh penduduk surga, dan tidak akan dapat masuk surga kecuali jiwa yang muslim, sedang kalian jika dibandingkan dengan pemeluk kesyirikan bagaikan sehelai rambut putih di tengah kulit sapi hitam.  (Bukhari, Muslim).
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي قُبَّةٍ فَقَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا شَطْرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْجَنَّةَ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلَّا كَالشَّعْرَةِ الْبَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الْأَسْوَدِ..

FIRMAN ALLAH KEPADA ADAM: “KELUARKAN UTUSAN NERAKA, DARI TIAP SERIBU, SEMBILAN RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN”


FIRMAN ALLAH KEPADA ADAM: “KELUARKAN UTUSAN NERAKA, DARI TIAP SERIBU, SEMBILAN RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN”




133.  Abu Sa’id Al Khudriy r.a. berkata,  Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Adam, “. Nabi Adam ‘Alaihissalam menjawab: “Labbaika, kemuliaan milik-Mu dan segala kebaikan berada di tangan-Mu”. Kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah utusan neraka”. Adam bertanya; “Apa yang dimaksud dengan utusan neraka? (berapa jumlahnya?) “. Allah berfirman: “Dari setiap seribu, sembilan ratus sembilan puluh Sembilan dijebloskan neraka!, Ketika perintah ini diputuskan, maka anak-anak belia menjadi beruban, dan setiap wanita hamil kandungannya berguguran dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidaklah mabuk akan tetapi (mereka melihat) siksa Allah yang sangat keras”. (QS. Alhajj 2), Para shahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, adakah diantara kami seseorang yang selamat?”. Beliau bersabda: “Bergembiralah, karena setiap seribu yang dimasukkan neraka, dari kalian cuma satu, sedang Sembilan ratus sembilan puluh sembilannya dari Ya’juj dan ma’juj”. Kemudian Beliau bersabda: “Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku berharap kalian menjadi di antara seperempat ahlu surga”. Maka kami bertakbir. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara sepertiga ahlu surga”. Maka kami bertakbir lagi. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di antara setengah ahlu surga”. Maka kami bertakbir sekali lagi. Lalu Beliau bersabda: “Tidaklah keberadan kalian di hadapan manusia melainkan bagaikan bulu hitam pada kulit sapi jantan putih atau bagaikan bulu putih yang ada pada kulit sapi jantan hitam”. (Bukhari, Muslim).


http://bukharimuslim.wordpress.com/

Hukum Pakaian dan Perhiasan


MEMAKAI WADAH EMAS & PERAK UNTUK MAKAN DAN MINUM.


1337.  Dari Ummu Salamah r.a., Rasulullah saw. bersabda: Orang yang minum dari bejana yang terbuat dari perak, sebenarnya ia menuangkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya. (Bukhari, Muslim).

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ



HARAM MEMAKAI CINCIN EMAS DAN SUTRA BAGI LAKI-LAKI


1338.  Al Bara’ bin ‘Azib r.a. berkata: Nabi saw. memerintahkan kami tentang tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara pula. Beliau memerintahkan kami untuk; mengiringi jenazah, menjenguk orang yang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat adil dalam pembagian, menjawab salam dan mendoakan orang yang bersin. Dan Beliau melarang kami dari menggunakan bejana terbuat dari perak, memakai cincin emas, memakai kain sutera kasar, sutera halus, baju berbordir sutera dan sutera tebal. (Bukhari, Muslim).

1339.  Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Kami berada di tempat Hudzaifah. Hudzaifah minta minum lalu diberi minum oleh pembesar negeri itu dalam bejana perak. Maka bejana itu dilemparkan oleh Hudzaifah seraya berkata:  Ku kabarkan kepadamu bahwa aku telah memerintahkan kepadanya untuk tidak memberiku minum dalam bejana perak. Karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda:  Jangan minum dalam bejana emas atau perak, dan jangan memakai sutera kembang atau sutera biasa, karena barang-barang itu untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kamu kelak di akhirat. (Bukhari, Muslim).

1340.  Abdullah bin Umar r.a. berkata: Umar bin Khatab r.a. melihat perhiasan sutra dijual di muka pintu masjid, kemudian ia berkata:  Ya Rasulullah, andaikan engkau membeli itu untuk engkau pakai hari Jumat dan ketika menerima utusan jika datang kepadamu.  Maka Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya yang memakai itu hanyalah orang yang tidak mendapat bagian di akhirat.  Kemudian tidak lama Nabi saw. mendapat beberapa perhiasan sutra, maka beliau memberi satu kepada Umar bin Khatab r.a., dan Umar r.a. berkata:  Ya Rasulullah, engkau memberiku pakaian itu sesudah engkau bicara demikian terhadap perhiasan utharid.  Maka Sabda Nabi saw.: Aku tidak memberi kepadamu itu supaya engkau pakai.  Maka oleh Umar diberikan kepada saudaranya yang masih kafir di Makkah.  (Bukhari, Muslim)

How To Install Ubuntu 11.10

Kisah - kisah Shahih

Imam Muslim


Sejarah Singkat Imam Muslim
Quantcast
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalanbutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan . Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyenegara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yaC Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut bng dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim.rjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H.

Imam Abu Daud


Biograpi Imam Abu Daud
Ada 3 pendapat tentang nama lengkap Abu Daud :
- Menurut Abdurrahman  bin Abi Hatim, nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Syadad bin ‘Amru bin ‘Amir.
- Menurut Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Hasyimi, nama Abu Daud  adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Basyar bin  Syadad.
- Menurut Ibnu Dasah dan Abu ‘Ubaid Al Ajuri, nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad. Pendapat ini di perkuat oleh Abu Bakr Al  Khathib di dalam Tarikhnya. Dan dia dalam bukunya menambahi dengan  Ibnu ‘Amru  bin ‘Imran al Imam, Syaikh as Sunnah, Muqaddimu al huffazh, Abu Daud al-azadi as-Sajastani, muhaddits Bashrah.
Nasab  beliau:
1.  Al  Azadi, yaitu nisbat kepada Azd yaitu qabilah terkenal yang ada di daerah  Yaman.
2.  As-Sijistani, ada beberapa pendapat dalam  nisbah ini, diantaranya:
Ada  yang berpendapat bahwasan as Sijistani merupakan  nisbah kepada daerah Sijistan. Ada juga yang  berpendapat bahwa as sijistani merupakan nisbah kepada sijistan atau sijistanah  yaitu suatu kampung yang ada di Bashrah.
Tetapi  menurut Muhammad bin Abi An Nashr bahwasannya di Bashrah tidak ada perkampung yang bernama as-Sijistan. Namun pendapat ini di bantah bahwa di dekat daerah Ahwaz  ada daerah yang disebut dengan Sijistan
As Sam’ani mengutip satu pendapat bahwa as-sijistan  merupakan nisbah kepada sijistan, yaitu salah suatu daerah terkenal yang  terletak di kawasan Kabul
Abdul Aziz menyebutkan bahwasannya sijistan merupakan  nisbah kepada Sistan, yaitu daerah terkenal yang sekarang ada di Negri  Afganistan.
Tanggal lahir: Tidak ada ulama yang menyebutkan tanggal dan bulan kelahiran  beliau, kebanyakan refrensi menyebutkan tahun kelahirannya. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H.  Disandarkan kepada  keterangan dari murid beliau, Abu  Ubaid Al Ajuri ketika beliau wafat, dia berkata:  aku mendengar Abu Daud  berkata : “Aku dilahirkan  pada tahun  202 Hijriah”
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Ketika  menelisik biografi imam Abu Daud, akan muncul paradigma bahwasanya beliau  semenjak kecil memiliki keahlian untuk menimba ilmu yang bermanfaat. Semua itu  ditunjang dengan adanya keutamaan yang telah di anugerahkan Allah kepadanya  berupa kecerdasan, kepandaian dan kejeniusan, disamping itu juga adanya  masyarakat sekelilingnya yang mempunyai andil besar dalam menimba ilmu.
Dia  semenjak kecil memfokuskan diri untuk belajar ilmu hadits, maka kesempatan itu  dia gunakan untuk mendengarkan hadits di negrinya Sijistan dan sekitarnya.  Kemudian dia memulai rihlah ilmiahnya ketika menginjak umur delapan belas  tahun. Dia merupakan sosok ulama yang sering  berkeliling mencari  hadits ke berbagai belahan negri Islam, banyak mendengar hadits dari berbagai ulama, maka tak heran  jika dia dapat menulis dan menghafal hadits dengan jumlah besar yaitu setengah  juta atau bahkan lebih dari itu. Hal  ini merupakan modal besar bagi  berbagai karya tulis beliau yang  tersebar setelah itu keberbagai pelosok negri islam, dan menjadi sandaran dalam  perkembangan keilmuan baik hadits maupun disiplin ilmu lainnya.
Rihlah beliau
Iman Abu Daud  adalah salah satu Iman yang sering berkeliling mencari hadits ke negri-negri Islam yang ditempati para Kibarul Muhadditsin,  beliau mencontoh para syaikhnya  terdahulu dalam rangka menuntut ilmu dan mengejar hadits yang tersebar di berbagai daerah yang berada di  dada orang-orang tsiqat dan Amanah. Dengan  motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap  ilmu-ilmu hadits, maka beliau mengadakan perjalanan (Rihlah) dalam   mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun.
Adapun  negri-negri islam yang beliau kunjungi adalah;
1. Iraq; Baghdad merupakan daerah islam yang  pertama kali beliau masuki, yaitu pada tahun 220 hijriah
2. Kufah; beliau kunjungi pada tahun 221 hijriah.
3. Bashrah; beliau tinggal disana dan banyak  mendengar hadits di sana, kemudian keluar dari sana dan kembali lagi setelah  itu.
4. Syam; Damsyiq, Himsh dan Halb.
5. AL Jazirah; masuk ke daerah Haran, dan  mendengar hadits dari penduduknya.
6. Hijaz; mendengar hadits dari penduduk Makkah,  kemungkinan besar saat itu perjalanan beliau ketika hendak menunaikan ibadah  haji.
7. Mesir
8. Khurasan; Naisabur dan Harrah, dan mendengar  hadits dari penduduk Baghlan.
9. Ar Ray
10. Sijistan; tempat tinggal asal beliau, keluar dari sana kemudian kembali lagi,  kemudian keluar menuju ke Bashrah.
Guru-guru beliau
Diantara  guru beliau yang terdapat di dalam sunannya adalah;
1. Ahmad bin Muhammmad bin Hanbal as Syaibani al Bagdadi
2. Yahya bin Ma’in Abu Zakariya
3. Ishaq binIbrahin  bin Rahuyah abu ya’qub al Hanzhali
4. Utsman bin Muhammad bin abi Syaibah abu al Hasan al Abasi al Kufi.
5. Muslim bin Ibrahim al Azdi
6. Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab al Qa’nabi al  Harits  al Madani
7. Musaddad bin Musarhad bin Musarbal
8. Musa bin Ismail at Tamimi.
9. Muhammad bin Basar.
10. Zuhair bin Harbi (Abu Khaitsamah)
11. Umar bin Khaththab as Sijistani.
12. Ali bin Al Madini
13. Ash  Shalih abu sarri (Hannad bin sarri).
14. Qutaibah bin Sa’id bin  Jamil al Baghlani
15. Muhammad bin Yahya Adz  Dzuhli
Dan masih banyak yang lainnya .
Murid-murid beliau
Diantara murid-murid beliau, antara lain;
1. Imam Abu  ‘Isa at Tirmidzi
2. Imam Nasa’i
3. Abu Ubaid Al Ajuri
4. Abu Thayyib Ahmad bin Ibrahim Al Baghdadi  (Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
5. Abu ‘Amru Ahmad bin Ali Al Bashri (perawi  kitab sunan dari beliau).
6. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al Khallal Al  Faqih.
7. Isma’il bin Muhammad Ash Shafar.
8. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
9. Zakaria bin Yahya As Saaji.
10. Abu Bakar bin Abi Dunya.
11. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab  Nasikh wal Mansukh dari beliau).
12. Ali bin Hasan bin Al ‘Abd Al Anshari (perawi  sunsn dari beliau).
13. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi  sunan dari beliau).
14. Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu’lu’i (perawi  sunan dari beliau).
15. Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub Al Matutsi Al  Bashri (perawi kitab Al Qadar dari beliau).
Persaksian para ulama terhadap beliau
Banyak sekali pujian dan sanjungan dari  tokoh-tokoh terkemuka kalangan imam dan ulama hadits dan disiplin ilmu lainnya  yang mengalir kepada imam Abu Daud Rahimahullah, diantaranya adalah;
Abdurrahman  bin Abi Hatim berkata : Abu daud Tsiqah

Mushthalahul Hadits


PENGANTAR ILMU MUSHTHALAHUL HADITS
I.  Definisi Ilmu Mushtalah

عِلْمُ بِقَوَاعِدِ وَقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السنَدِ وَالمَتْن مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ أَوْ الرد

Adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan dari segi penerimaan dan penolakannya.
Sanad : silsilah (rantai) rijal (perawi-perawi) yang bersambung sampai ke matan.
Matan : perkataan yang datang setelah akhir sanad.
II. Urgensi Ilmu Musthalah
Sangat banyak manfaat ilmu ini yang terpenting diantaranya adalah :
1. Membedakan antara hadits shohih dan dhoif.
Pada abad pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, sanad yang beredar adalah sanad yang shohih, sahabat meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan sahabat semuanya adil dan terpercaya. Namun setelah wafatnya Utsman bin Affan radhiyallohu anhu mulailah nampak bid’ah dan golongan sesat, serta mereka menambah, mengurangi dan memalsukan hadits nabi untuk memperkuat bid’ah mereka. Sebagaimana perkataan Muhammaf bin Sirrin : “Mereka (para sahabat) dulunya tidak pernah menanyakan tentang sanad, sampai terjadinya fitnah.
Maka ilmu ini dibuat untuk membedakan yang shohih dan yang dho’if.
2. Ilmu ini termasuk kunci untuk masuk dalam ilmu-ilmu syar’i yang lalu, seperti : Aqidah, Tafsir, Fiqh dan lain-lain.
Buku-buku maraji (rujukan) dari ilmu ini diriwayatkan dengan sanad.
3. Terhindar dari berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
Karena meriwayatkan/menyebutkan hadits palsu dan lemah, sementara dia mengetahuinya atau tidak hati-hati dan teliti, itu artinya dia telah berdusta atas Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
Imam Muslim meriwayatkan dalam muqoddimah shohihnya, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang meriwayatkan hadits sementara ia tahu bahwa (hadits) itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta.”
Dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda dalam hadits mutawatir : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
4. Dapat membangkitkan rasa tenang dalam hati tentang janji Allah Azza wa Jalla untuk menjaga syari’at ini, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Kami yang menurunkan (Al-Qur’an) dan kami pulalah yang menjaganya.” (QS. Al Hijr :9)
III. Sejarah Perkembangan Ilmu Musthalah.
Secara umum kita dapat membagi sejarah perkembangan ilmu musthalah menjadi empat marhalah (tahapan zaman) :
1. Marhalah pertama dimana sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menghafal hadits-hadits beliau, safar untuk mengumpulkan dan mencocokkannya dan menulisnya pada shohifah (lembaran-lembaran), seperti : Shohifah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr, dan lain-lain.
2. Marhalah penulisan sunnah secara resmi ketika Umar bin Abdul Azis rahimahulloh memerintahkan untuk menyebarkan ilmu dan menulisnya, maka dikumpullah hadits-hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan perkataan sahabat yang mana disela-selanya terdapat faidah-faidah dan isyarat-isyarat yang pada akhirnya Muhadditsin (ahli hadits) menjadikannya sebagai dasar ilmu musthalah, diantaranya Kitab Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan lain-lain.
3. Marhalah pemisahan faidah-faidah tersebut yang merupakan dasar ilmu musthalah dari kitab-kitab hadits, maka dikumpulkan ilmu-ilmu yang serupa pada kitab tersendiri, seperti Kitab Al ’Ilal oleh Ali bin Madini, Kitab Marasiil oleh Abu Daud, dan lain-lain.
4. Marhalah penggabungan setelah pemisahan. Ilmu-ilmu yang telah dipisahkan tadi seperti ‘Ilal dan Marasiil dan lain-lain digabung dalam satu kitab sebagai ilmu tersendiri yaitu Ilmu Musthalah Hadits. Maka orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu Muhammad Hasan bin Abdur Rahman Al Romahurmuzi (wafat : 360H) dan menamakan kitabnya Al Muhaddits Al Fashil baina Ar Rowi wal Wa’iy Tapi kitab ini belum sempurna dan belum mencakup semua jenis istilah hadits. Kemudian datang setelahnya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Hakim (wafat :405 H) dan mengarang kitab : Ma’rifah Ulum Al Hadits di dalamnya beliau menyebutkan 54 jenis istilah hadits dan kitab ini lebih unggul dari kitab yang pertama dari segi pengaturannya, kemudian setelahnya datang Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani (wafat : 430 H) dan mengarang Mustahkraj atas kitabnya Al Hakim.
Kemudian datang setelahnya Al Muhaddits Abu Bakar Ahmad bin Ali yang terkenal dengan gelar Al Khatib Al Baghdadi (wafat : 463 H) dan mengarang kitab Ushulul Hadits dan diberi nama : Al Kifayah. Berkata Ibnu Nuqthoh : semua muhadditsin (ulama hadits) setelah Al Khatib merujuk pada buku-buku beliau. Kemudian datang setelahnya Al Qhadhi ‘Iyadh (wafat : 544 H) dan mengarang kitab Al Ilmaa’.
Setelah mereka datang Abu Hafs Umar bin Abdul Majid Al Mayanji (wafat : 580 H) dan mengarang kitab “Ma la Yasa’ul Muhaddits Jahluhu”. Setelah itu para ulama hadits terus mengarang kitab-kitab musthalah hadits dan semakin menyempurnakannya sampai datang Abu ‘Amr Ibn Shalah Utsman bin Abdur Rahman Ash Shaharzuri (wafat : 643).
Ketika mengajar di Madrasah Asyrafiyah di Damaskus dan mengarang kitab “Ulumul Hadits” yang kemudian masyhur dengan nama “Muqoddimah Ibnu Shalah”, kitab ini lebih sempurna dari kitab-kitab sebelumnya yang mana mencakup 65 jenis istilah hadits.
Diantara keistimewaan kitab ini, telah disusun dengan teliti dan bab-bab yang teratur serta mentarjih beberapa masalah istilah hadits. Dan orang-orang yang datang setelah beliau menjadikan bukunya sebagai rujukan dalam Ilmu Musthalah Hadits.